2 September 1978, langit di Kota Liverpool benar-benar bersih. Matahari masih menghantamkan sinar panas, saat Liverpool menjamu Tottenham Hotspur. Memang bukan partai musuh bebuyutan, tapi pertandingan itu ditunggu banyak orang. Liverpool sebagai tim kelas satu dianggap mendapat ancaman serius dari The Spurs yang baru promosi setelah semusim terdampar di Divisi I.
Bahkan, partai ini dianggap paling menggairahkan di kompetisi Divisi Utama Liga Inggris pekan itu. The Spurs di bawah pelatih Keith Burkinshaw dinilai sangat menjanjikan. Meski baru promosi, mereka memiliki tim yang sangat bagus.
Burkinshaw baru membeli dua bintang Argentina yang baru saja sukses membawa negaranya juara Piala Dunia 1978. Mereka adalah Osvaldo Ardiles dan Ricardo Villa. Selain itu, The Spurs juga punya pemain rising star yang menjadi harapan Inggris, yakni Glenn Hoddle.
Sebelum pertandingan, media massa sudah membuat preview partai itu bakal ketat. Tuan rumah bakal mendapat perlawanan sengit. Itu yang membuat suasana begitu panas, hingga Liverpudlian tak mau melewatkannya. Mereka berduyun-duyun ke Anfield agar tim kesayangannya tak dipermalukan klub dari London itu.
“Kami mempersiapkan pertandingan ini dengan kerja ekstra. Semua pemain menunggu partai ini. The Spurs memang sedang punya tim yang hebat. Tapi, kami tak ingin dipermalukan di depan pendukung sendiri” ujar gelandang Liverpool waktu itu, Terry McDermott.
Sebaliknya, Liverpool mampu terus menguasai permainan. Gol demi gol pun tercipta dengan mudahnya. Liverpool membantai tim yang dianggap bakal mengancam kemapanan tim-tim elite Liga Inggris itu dengan skor meyakinkan, 7-0. Ini kemenangan besar Liverpool, sekaligus terbesar di musim 1978-79.
MENGAMUK
Semula, The Spurs masih bisa sedikit mengimbangi permainan Liverpool. Mereka mencoba memainkan gaya sepak bola yang sedikit berbau latin. Umpan-umpan pendek dan pergerakan yang teratur menjadi ciri khasnya. Dimotori Ardiles, Spurs mencoba mengacau irama permainan Liverpool.
Ternyata strategi itu tak berjalan. Liverpool justru mengamuk dan mencoba memberi tekanan yang sangat tajam kepada lawan. Kenny Dalglish dkk akan cepat menekan The Spurs, manakala kehilangan bola. Sebaliknya jika menguasai bola, mereka akan melakukan serangan dengan cepat.
Gaya bermain cepat tanpa kenal lelah itu tampaknya membuat tim tamu kesulitan. Bahkan, mereka semakin kehilangan kepercayaan diri setelah Kenny Dalglish mencetak gol pertamanya.
Sejak itu, The Spurs hanya bisa sesekali menyerang. Itupun tak pernah benar-benar berbahaya. Sebab, serangan mereka selalu mentah. Kiper Liverpool, Ray Clemence, nyaris tak pernah bekerja keras. Bahkan, memegang bola pun jarang.
Sebaliknya kiper Tottenham Hotspur, Barry Daines harus jatuh-bangun menahan serangan demi serangan yang dilancarkan Liverpool. Belum 30 menit berlangsung, dia harus memungut bola dari jaringnya sebanyak tiga kali. Dua gol susulan Liverpool dicetak oleh Kenny Dalglish dan Ray Kennedy.
Bagusnya, The Spurs tak putus asa. Mereka tetap berusaha mengejar ketinggalan. Sayang, serangan mereka mudah dibaca. Selain itu Ardiles, Glenn Hoddle, dan Ricardo Villa mampu dimatikan oleh para pemain Liverpool. Ketiga pemain ini tak pernah bisa leluasa memegang bola, sehingga permainan The Spurs pun kacau.
Setiap kali The Spurs menaikkan tempo serangannya, saat itu juga Liverpool tambah mengamuk. Kecepatan permainan Liverpool bukannya mengendor, tapi justru tambah meningkat. Ini yang membuat The Spurs semakin kesulitan.
Graeme Souness dibiarkan terus berada di depan dan memancing pertahanan The Spurs. Sedangkan 9 pemain lainnya seolah memainkan sepak bola total. Mereka menjadi kesatuan dalam menyerang maupun bertahan.
Menguasai permainan membuat Liverpool makin mudah mencetak gol demi gol tambahan. David Johnson yang menggantikan Emily Hughes mencetak dua gol tambahan. Kemudian, Phil Neal dan Terry McDermott menambah dua gol.
Sempurna sudah kemenangan Liverpool. Ketakutan terhadap ancaman The Spurs ternyata tak beralasan. Walupun akhirnya di sepanjang kompetisi Spurs memang tampil bagus, tapi tidak di Anfield. Stadion yang angker itu menjadi tempat pembantaian Glenn Hoddle dkk yang sulit mereka lupakan.
Bagi Liverpool sendiri, kemenangan tersebut merupakan kenangan amat indah. Apalagi, kemenangan itu menegaskan keperkasaan The Reds di Inggris. Di akhir kompetisi, mereka akhirnya tampil sebagai juara.
“Itu pertandingan indah yang tak mungkin kami lupakan. Banyak kenangan yang ditinggalkan,” kata McDermott yang mencetak gol terindah dalam pertandingan tersebut. Bahkan, gol ke-7 Liverpool yang dia cetak itu merupakan gol terindah dalam kariernya
Memasuki babak kedua, The Spurs mencoba mengubah keadaan. Mereka ganti menerapkan permainan cepat dari kaki ke kaki. Tapi, untuk gaya yang satu ini, Liverpool lebih jago. Sehingga, perubahan strategi itu justru blunder dan menyenangkan tuan rumah.
Benar saja. The Spurs dibuat kaget atas penampilan Liverpool. The Reds seperti badai yang sulit ditahan. Tim asuhan Bob Paisley ini selalu memainkan permainan cepat tanpa henti sejak pertandingan dimulai. Sehingga, The Spurs pun kesulitan mengembangkan permainan.
0 comments:
Post a Comment